K.H. Asnawi Caringin, Banten merupakan Ulama karismatik dan pendekar Kampung Caringin, Labuan, Banten. Biasa disebut “Mama Asnawi” oleh masyarakat Banten. K.H. Tubagus Muhammad Asnawi lahir di Kampung Caringinpada sekitar tahun 1850. Ayahnya bernama Abdurrahman sedangkan ibunya bernama Ratu Sabi’ah dan merupakan keturunan dari Sultan Agung Mataram.Sejak usia Sembilan tahun, Asnawi dikirim ayahnya ke Makkah untuk berguru kepada ulama termasyhur kelahiran Banten, Syaikh Nawawi al Bantani. Teman seperguruannya adalah Kiai Cholil Bangkalan, Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari, dan Kiai Raden Asnawi Kudus.

Setelah beberapa tahun mengaji di Makkah, K.H. Asnawi kembali ke Banten dan mendirikan pesantren di kampung halamannya. Pesantren ini kemudian terkenal dengan pesantren fiqih, tasauf dan oalh beladiri untuk mendidik para santri-jawara.
K.H. Asnawi dikenal sebagai ulama yang menjadi panutan masyarakat Banten sekaligus pendekar-jawara yang menentang penjajahan Belanda. Ia memobilisasi santri dan mengorganisasi para jawara untuk melawan penjajahan. Akibatnya, ia ditahan di penjara Tanah Abang, Jakarta, lalu diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, selama kurang lebih satu tahun dengan tuduhan melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Namun, selama di pengasingan ia tetap melakukan dakwah dan mengajarkan al Qur’an serta tarekat kepada masyarakat Cianjur.
Setelah dibebaskan, Kiai Asnawi pulang ke Caringin, melanjutkan pendidikan Masjid Salafiah pada 1884. Bentuk bangunan masjid ini ditandai oleh denah empat persegi panjang. Pada keempat sisinya terdapat serambi.
Arsitektur Masjid Salafiah dipengaruhi oleh beberapa unsur local dan luar. Unsur lokal terlihat pada bentuk atapnya. Sementara unsur asingnya terlihat pada bentuk jendela serta pintu dengan ukuran relative besar, juga pilar-pilar yang mengelilingi masjid.
Baca juga: Keutamaan dan Keteladanan Umar Bin Khatab
Menurut cerita, bahan kayu Masjid Salafiah diperoleh dari sebuah pohon Kalimantan yang dibawa Kiai Asnawi ke Caringin. Dahulu pohon tersebut tidak bisa ditebang. Kalaupun bisa ditebang, beberapa saat pohon tersebut muncul kembali. Akhirnya, Kiai Asnawi berdoa memohon kepada Allah agar diberi kekuatan sehingga pohon itu dapat ditebang dan kayunya bisa dibawa ke Caringin untuk membangun masjid tersebut. Dari bangunan pesantren dan masjid inilah ia kemudian dikenal dengan nama Kiai Caringin.
Dari pesantren yang diasuh K.H. Asnawi, muncul dua santri yang kemudian menjadi tokoh nasional dalam pergerakan kebangsaan di Tahun 1920-an, yaitu K.H. Mas Abdurahman Menes yang merupakan tokoh pendiri NU, dan Kiai Achmad Chatib, menantu Kiai Asnawi, yang dikenal sebagai aktivis Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Banten pada tahun 1945. Pada tahun 1937, K.H. Tubagus Muhammad Asnawi wafat. Ia meninggalkan 23 anak dari lima isteri (Hj, Ageng Tuti Halimah, Hj. Sarban, Hj. Syarifah, Nyai Salfah dan Nyai Nafi’ah). Ia dimakamkan di Masjid Salafiah. Hingga sekarang masjid dan makamnya tak pernah sepi oleh para peziarah dari sekitar Banten maupun berbagai daerah di tanah air.
Demikianlah postingan kali ini mengenai “K.H. Asnawi, Caringin, Labuan, Banten“, Semoga bermanfaat buat Sahabat Pojok Dtangsel.